dakwatuna.com - “Pulang bareng ya cuy…” pesan
singkat Ima mampir ke layar komputerku melalui jendela yahoo messenger.
Malas sebenarnya pulang dengan Ima, karena dia pasti akan melanjutkan
ceramah-ceramah panjangnya yang bikin kuping ini panas. Tapi pulang
sendirian? Aku juga takut. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan
malam. Sendirian di terminal bus? Di Jakarta? No!!! Berita pemerkosaan,
perampokan dan beraneka cerita menyeramkan lainnya masih hangat di
surat kabar ibukota. No! Lebih baik hatiku terbakar mendengarkan
celotehan Ima dari pada harus pulang dengan rasa tidak tenang.
“Okay cuy… Bentar lagi yey… Tinggal dua file nih.”
“Okay… Gw tunggu di bawah.” Balas Ima lagi. Dengan cepat kuselesaikan
file-file yang tersisa, mengelompokkannya ke folder-folder sesuai judul
kegiatannya dan dengan cepat mematikan komputer. Ruangan kantor begitu
sunyi, hanya aku yang tersisa di lantai ini. Ku sibukkan pikiranku
dengan berbagai hal, agar tidak berpikir macam-macam. Sedikit berlari,
ku percepat langkahku menuju lift. Otomatis jariku memencet G.
“Cuy…” Ima berteriak memanggilku, reflek kepalaku berpaling ke arah
suaranya. Walau cuy bukan namaku, namun setiap kali Ima melontarkannya
aku merasa itu adalah aku. Karena cuy memang panggilan khusus yang
diciptakan Ima untukku. Entah artinya apa.
“Sorry ya lama… gila nih emak gue.”
“Santai aja cuy, gue ngerti lah emak lu gimana.” Ima cekikikan
melihatku pasang muka hopeless. Ya… emakku itu memang suka nggak mikir
kalau kasih kerjaan, beruntun dan banyak sekaligus. Terkadang kalau
sedang dongkol tingkat tinggi ku panggil beliau “lampir”, seperti
teman-teman di Taiwan memanggil majikan wanitanya. Entahlah ada kepuasan
saja memanggilnya demikian.
“So gimana? Udah lu putusin pacar lo?” Baru beberapa langkah kami
berjalan bahkan kaki ini masih mendarat di pelataran kantor Ima sudah
memulai serangannya. Tak kujawab pertanyaannya, hanya menyeringai saja.
Oh Ima please… I am so tired now!!
“Pasti belum!” Sambung Ima. Aku jadi semakin dongkol. Siapa dia? Ibu
bukan… saudara bukan… kenal juga baru tiga bulan ini. Kok malah sudah
mengatur-ngatur hidup gue?
“Cuy… gue cuma mengingatkan saja, karena itu adalah kewajiban gue
sebagai saudara lo sesame muslim. Dalam Islam sudah jelas tidak ada kata
pacaran kalau pasangan itu belum halal. Lu rasain sendirilah… nggak ada
manfaatnya pacaran. Yang ada lu koleksi dosa doang.”
“Siapa bilang nggak ada?” Hatiku berontak keras. Dia saja yang tidak
pernah pacaran, jadi tidak tau bagaimana rasanya diperhatikan. Lagian…
aku nggak mau jadi perawan tua seperti dia! Oops… ku lirik Ima sekilas,
yang tengah berjalan di sisiku. Jilbabnya melambai-lambai terbawa angin
malam. Wajah yang mulai menapaki usia 30 masih terlihat cantik apalagi
dengan senyuman yang selalu terukir menghiasinya, ya selalu begitu.
Dipikir-pikir tidak ada yang kurang dari Ima. Anaknya pintar,
berpendidikan, cantik dan yang pasti jauh lebih shalihah dibanding aku.
Apa Ima terlalu pemilih? Ah entahlah…
“Bertanya kapan gue nikah, sama artinya nanya kapan gue mati. I never
know! Cuma Yang Di Atas yang tau…” begitu jawab Ima ketika dulu aku
bertanya perihal itu. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bertanya.
“Pikirkan baik-baik ya Cuy… semua demi kebaikan lo…” Ima yang tampak
manis dari sudut mataku kembali menjadi sosok yang menyebalkan setiap
kali dia mengungkit masalah putus-putus-putus dan zina-zina-zina! Oh
Imaaaaaaaa….
***
“Bus kita Cuy!” Ima antusian dengan kedatangan Bus Patas yang
perlahan mendekati terminal. Langkahnya semakin diperlebar dan sedikit
berlari, cepat dia naik ke atas. Ku ikuti Ima dari belakang, dan betapa
kecewanya mendapati semua tempat duduk sudah penuh terisi.
“Lo duluan aja Ma… gue bus berikutnya.” Kutinggalkan Ima. Seharian
bekerja memang lebih sering duduknya, namun berdiri selama sejam di bus
sangat melelahkan. Apalagi nanti akan banyak ngetemnya… macetnya… ah
tidak! Belum lagi berdempet-dempetan dengan pengamen yang tetap maksa
‘manggung’ walau tau keadaan bus sudah seperti kaleng sarden. Penuh dan
sesak!
“Barenglah…” Ima ikutan turun, dan kini telah kembali berada di
sisiku. Tak berapa lama bus lain datang, lebih kosong dan kami berdua
dapat tempat duduk berdampingan.
“Sabar memang indah ya….” sambung Ima.
“So true! Kalau memang sudah jatahnya, enggak bakal ke mana.” Balasku
antusias. Senang sekali bisa mendapatkan tempat duduk. Walau seberapa
macet pun jalanan, kalau sudah duduk mah aman. Tinggal tidur. Hehehe.
“Sini nak… sini…” seorang Ibu paruh baya tergopoh-gopoh masuk ke
dalam bus. Tangannya penuh membawa tiga bungkus plastik dan seorang anak
berusia sekitar 10 tahun berdiri gugup di belakangnya.
“Sini… pegang baju Ibu aja.” Diraihnya tangan si anak dan menaruhnya
di sisi bajunya sebelah kanan. Kuperhatikan di kursi sebelah si ibu,
seorang bapak-bapak. Pun di depannya seorang pria dan gadis muda. Tidak
ada seorang pun yang menawarkan tempat duduk bagi mereka. Ku alihkan
pandangan kea rah Ima, dia membalas penuh arti seakan tau apa yang
bergejolak di pikiranku. Tanpa menunggu lama dianggukkannya kepalanya
cepat, “Nggak papa… kita berdiri aja. Deket ini…” lanjut Ima. Aku ikutan
manggut-manggut dan berdiri mempersilakan si Ibu dan anaknya untuk
duduk. Si Ibu menolak, setelah agak dipaksa baru akhirnya beliau duduk.
“Hehehe… ternyata kita memang ditakdirkan untuk berdiri.” Ku sikut Ima yang masih senyum-senyum aja.
“Yoi Cuy… tapi kita menempuh takdir kita dengan jalan yang indah.”
Keningku berkerut, bekerja keras dengan otak mencerna kalimat Ima.
“Iya… kita sudah menjemput takdir kita dengan cara yang indah.” Ulang Ima, aku masih tidak mengerti.
“Maksud gue gini cuy… Kita memang sudah ditakdirkan untuk pulang
dengan berdiri di dalam bus. Tadi kan sebenarnya bisa aja kita naik bus
yang pertama lalu berdiri. Tapi kita memilih opsi kedua duduk kemudian
berdiri. Namun kita dikasih kesempatan buat sedekah dulu, yakni
memberikan tempat duduk kita untuk ibu dan anaknya tadi. Kurang indah
apa coba? Ujung-ujungnya sama-sama berdiri tapi yang satu lurus-lurus
aja menemui takdirnya yang satu pakai tantangan plus kesempatan beramal
dulu…”
“Iya..ya…”
“Sama Cuy… jodoh juga gitu…” Kembali ku arahkan pandangan ke Ima. Apalagi ini??
“Siapa dan kapan kita bertemu jodoh kita itu semua sudah ditetapkan
sama Allah. Kita mau pakai cara baik-baik, semi baik-baik bahkan tidak
baik sama sekali kalau memang sudah ditetapkan… ya dialah jodoh kita.
Jadi mengapa kita harus menjerumuskan diri dengan berpacaran kalau
seseorang yang sudah nyata-nyata pasti buat kita sudah disiapkan? Kenapa
kita tidak menjemput jodoh kita dengan cara yang lebih baik? Mungkin
dengan meningkatkan kapasitas diri… menempa diri menjadi lebih baik… toh
kalau memang itu sudah takdirnya tidak akan ke mana-mana. Janji Allah
itu pastikan?” Ku tatap Ima, lebih dalam lagi. Tidak ada kesal seperti
biasanya setiap dia berbusa-busa berceramah tentang pacaran. Entahlah…
kalimat Ima barusan terasa begitu… begitu bersahabat dengan logikaku!

Redaktur: Retummoc Topik: Takdir, Perjodohan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar